Tradisi Kuliner di Upacara Adat Daerah

Berburu kuliner adat bukan hanya soal cita rasa, tetapi juga meresapi makna budaya dan filosofi yang diwariskan secara turun-temurun. Di berbagai daerah Indonesia, hidangan khusus kerap hadir dalam upacara adat—mulai dari slametan, pernikahan, khitanan, hingga panen raya. Setiap sajian memiliki nilai simbolis, mewakili harapan, rasa syukur, atau doa untuk keberkahan. Yuk, kenali 7 tradisi kuliner adat yang masih lestari dan wajib kamu coba!
1. Nasi Tumpeng di Slametan Jawa
Filosofi dan Makna Tumpeng
Nasi tumpeng berbentuk kerucut melambangkan hubungan manusia (dasar kerucut) dengan Yang Maha Kuasa (puncak kerucut). Warna kuning pada nasi – hasil racikan kunyit – melambangkan kemuliaan dan rasa syukur. Sayur urap, ayam goreng, telur, dan sambal goreng kentang yang menghiasi tumpeng melambangkan keseimbangan alam: hewani dan nabati.
Momen Penyajian dalam Slametan
Biasanya disajikan untuk acara selamatan rumah baru, selamatan anak lahir, atau slametan pindah kerja. Prosesi pemotongan puncak tumpeng dilakukan oleh tokoh adat atau tuan rumah sebagai simbol pembukaan acara dan penghambaan diri kepada Tuhan.
2. Pepes Ikan Mas di Padusan Banyuwangi
Upacara Padusan dan Tradisi Pepes
Padusan—mandi di pemandian air panas alami—adalah ritual menyambut bulan Suro (Muharram) di Banyuwangi. Setelah padusan, warga menyantap pepes ikan mas sebagai simbol “pembersihan hati” dan harapan rejeki yang berkelanjutan. Ikan mas dipadu daun pisang dan bumbu rempah (kunyit, cabai, kemangi), kemudian dipanggang atau dikukus sehingga aroma daun pisang meresap sempurna.
Nilai Sosial dan Lingkungan
Pepes ikan mas biasanya dibuat secara gotong-royong; hasil tangkapan ikan di sungai setempat diolah bersama. Tradisi ini memperkuat solidaritas warga sekaligus menjaga kelestarian sumber daya perairan.
3. Sate Rembiga di Upacara Kasada, Tengger
Keterikatan dengan Upacara Kasada
Masyarakat Tengger di sekitar Gunung Bromo merayakan Kasada setiap tahun untuk menghaturkan sesaji kepada Dewa Penunggu gunung. Salah satu sesajinya adalah sate rembiga—daging kambing muda yang dipotong kecil, ditusuk, kemudian dibakar. Bumbu rempahnya sederhana: garam, merica, dan sedikit minyak kelapa.
Simbolisme Daging Kambing
Kambing muda dipilih karena dianggap “murni” dan sebagai tanda kerendahan hati. Daging sate rembiga dibagikan kepada tetua adat dan sesepuh desa, kemudian dinikmati bersama warga sebagai ungkapan rasa syukur atas panen atau tertolak bencana.
4. Bubur Suro di Tradisi Muharram, Jawa Tengah
Makna dan Filosofi Bubur Suro
Pada malam Satu Suro, beberapa kota di Jawa Tengah – seperti Solo dan Semarang – menyediakan bubur suro: bubur berwarna merah (beras dicampur darah atau pewarna alami) dengan lauk ayam kampung dan rempah daun salam. Warna merah melambangkan darah, sebagai pengingat agar manusia waspada dan introspeksi.
Proses Pembuatan dan Pembagian
Bubur dimasak dalam kuali besar, kemudian dibagikan gratis kepada masyarakat. Prosesi ini mengajak masyarakat merenungi makna kehidupan, menghapus dendam, dan menyambut tahun baru Hijriyah dengan hati bersih.
5. Wajik dan Kue Putu pada Ruwatan Cilik Bali
Upacara Ruwatan dan Hidangan Manis
Ruwatan—ritual pemurnian bagi anak-anak yang akan memasuki fase tertentu (misalnya pewarisan gelar)—di Bali menampilkan hidangan manis seperti wajik (ketan manis) dan putu ayu (kue kukus pandan dengan taburan kelapa parut). Manisnya wajik dipercaya membawa kebahagiaan dan kelancaran hidup.
Teknik Tradisional Membuat Wajik
Beras ketan direndam, kemudian dikukus dan ditanak bersama gula aren cair dan daun pandan hingga teksturnya lengket dan berkilau. Wajik dipotong wajik (bentuk wajik) lalu ditata cantik di atas daun pisang.
6. Papeda dalam Upacara Syukuran Panen Maluku
Nilai Simbolis Papeda
Papeda—bubur sagu kental khas Maluku dan Papua—sering disajikan dalam syukuran panen sagu. Masyarakat memakan papeda bersama ikan kuah kuning atau ikan bakar. Papeda yang lengket melambangkan kebersamaan dan gotong-royong.
Pemberian Sesaji Pelengkap
Selain papeda, syukuran panen dilengkapi tuak (arak sagu) serta sayur khas ayam woku. Prosesi makan bersama di atas daun sagu menguatkan ikatan komunitas dan rasa syukur atas hasil bumi.
7. Lemang Daun di Perayaan Idul Fitri Minang
Tradisi Memanggang Lemang
Di Sumatera Barat, sebelum atau setelah Salat Idul Fitri, keluarga Minang memanggang lemang—beras ketan yang dibungkus daun pisang di dalam bambu, kemudian dipanggang di atas bara api. Lemang disajikan dengan rendang, gulai ayam, atau gulai tunjang.
Makna Kebersamaan dan Keramahan
Metode memasak lemang memerlukan waktu dan tenaga bersama—memanjat pohon bambu, menyiapkan bara, hingga menjaga api. Hasilnya dinikmati dalam semangat saling berbagi kepada tetangga dan sanak saudara.
Melalui tradisi kuliner adat, kita tidak hanya menikmati hidangan lezat, tetapi juga menyelami warisan budaya yang kaya makna. Setiap piring makanan adat adalah cerita—tentang rasa syukur, persatuan, dan filosofi hidup. Semoga artikel ini menginspirasi kamu untuk ikut menjaga dan merayakan tradisi kuliner Nusantara dalam setiap kesempatan.